MANADO, Swarakawanua—Pemerintahan Provinsi Sulut di bawah kepemimpinan Gubernur Olly Dondokambey dan Wagub Steven Kandouw (ODSK), sejak memimpin pada tiga tahun lalu, berhasil menurunkan satu digit tingkat kemiskinan di Sulut dari 8,98 persen pada 2015 menjadi 7,59 persen pada periode September 2018. Dibandingkan dengan provinsi lainnya di Pulau Sulawesi, tingkat kemiskinan Sulut adalah yang paling rendah.
Dalam Rapat Koordinasi Penguatan Ekonomi Masyarakat, pekan lalu (Jumat, 12/4/2019), Wagub Kandouw mengungkap data Badan Pusat Statistik (BPS)yang menyebutkan, sumbangan sektor pariwisata yang tadinya hanya empat persen di PDRB, sekarang sudah mencapai enam belas persen. “Sudah waktunya mencari meng-grade terobosan baru untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dengan mengelaborasi dan kolaborasi pariwisata local wisdom kita yang belum tergarap dengan baik,” ujar Kandouw.
Menurutnya, karena peranan Gubernur Sulut selama tiga tahun belakangan ini, sehingga sektor pariwisata Sulut mengalami pertumbuhan tertinggi se-Indonesia walaupun tidak termasuk 10 destinasi unggulan di Indonesia. “Tahun 2015, kita masih dua belas ribu kunjungan wisatawan dalam satu tahun. Sekarang sudah berkisar sebelas ribu sampai lima belas ribu dalam satu bulan kunjungan. Dan ke depan Bapak Gubernur sudah buka airline yang baru dari Kinabalu dan Davao,” imbuhnya.
Diungkapkannya lagi, Sulut menjadi provinsi yang paling rendah tingkat kemiskinannya di tengah tantangan yang terjadi di sejumlah sektor. “Sulut punya enam dari dua belas industri perikanan terbesar di Indonesia. Hampir semua hanya bisa beroperasi paling tinggi 20 persen dari kapasitas produksi karena suplainya tidak maksimal. Dilarang karena moratorium dari Kementerian Perikanan. Tapi kita patut berbangga karena angka kemiskinan di seluruh Sulawesi kita paling rendah,” kata Kandouw dalam Rakor yang juga dihadiri Deputi Bidang Koordinasi Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Kawasan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI Sonny Harry B Hamadi.
Kebijakan pemerintah menggunakan goverment expenditure (pembiayaan) adalah atas beberapa alasan. “Pertama, output dan outcome-nya jelas. Dan lebih utama sustainable, bisa terus berlangsung dan dirasakan oleh masyarakat,” katanya dengan mengingatkan pentingnya koordinasi antara kabupaten/kota, provinsi dan pemerintah pusat, agar program yang direncanakan bisa berjalan dengan baik. Diungkapkannya pula harapan Gubernur Olly, agar dana desa dari Rp1.7 triliun bisa naik jadi Rp3 triliun.
Deputi Bidang Koordinasi Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Kawasan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI Sonny Harry B Hamadi saat sambutan mengatakan, tugas pemerintah adalah menciptakan dan memungkinkan masyarakat membangun wirausaha dengan mudah. “Jadi membangun sistem sehingga mereka mampu untuk bangkit sendiri. Pemerintah ingin membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri melalui proses penguatan ekonomi masyarakat melalui-kegiatan kegiatan yang ada,” ungkapnya.
Dengan dana desa semakin besar, harus betul-betul memberi manfaat bagi masyarakat yang ada di desa. “Penguatan ekonomi masyarakat di desa menjadi prioritas pembangunan desa berikutnya. Selama ini kita prioritas pembangunan infrastruktur. Di 2019 kita dorong penguatan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di desa,” ujarnya.
Dia optimis Sulut punya potensi yang besar untuk mengelola BUMDes apalagi Sulut termasuk provinsi dengan indeks pembangunan manusia (IPM) yang sangat tinggi. “Dengan rakor yang dihadiri oleh kepala dinas kabupaten/kota bisa menggali potensi dan berpikir bagaimana desanya mengalami kemajuan lebih cepat, lebih cepat dan lebih cepat lagi,” tutup Hamadi dalam Rakor yang juga dihadiri jajaran Kemenko PMK, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Daerah Provinsi Sulut Royke Mewoh, serta Kepala Biro Kesra Setprov Sulut dr Devi Kandouw-Tanos, MARS.(hms)